Perkembangan dunia digital kini melahirkan banyak bentuk aset baru, salah satunya adalah aset kripto seperti Bitcoin dan Ethereum. Nilainya yang bisa melonjak tinggi membuat banyak orang tertarik, tetapi di sisi lain muncul pertanyaan penting: “Apakah aset kripto halal?” dan “Bagaimana perlakuannya dalam akuntansi menurut standar di Indonesia?”
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) melalui forum Regular Sharia Accounting Discussion (RASHID) pada Oktober 2025 membahas tema “Aset Kripto dalam Perspektif Syariah dan Akuntansi” bersama para pakar ekonomi Islam dan Asosiasi Blockchain Syariah Indonesia (ABSI).
Dalam pandangan fiqh muamalah, sebuah instrumen baru dianggap sah jika memenuhi unsur kepemilikan (qabḍh), sehingga bisa dimanfaatkan, dan tidak bertentangan dengan syariat.
Kripto tidak bisa disebut mata uang karena:
- nilainya tidak stabil
- tidak diterima luas sebagai alat tukar, dan
- tidak diakui sebagai alat pembayaran resmi oleh negara.
Namun, kripto bisa dianggap sebagai aset digital (store of value) seperti emas atau properti selama penggunaannya tidak mengandung unsur riba, gharar (ketidakpastian), atau maysir (spekulasi berlebihan).
Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwanya tahun 2021 menyatakan bahwa kripto haram jika dijadikan mata uang, tetapi boleh untuk diperjualbelikan sebagai aset atau komoditas jika memenuhi syarat syariah: memiliki nilai, manfaat, dapat dimiliki, dan ada dasar yang jelas (underlying asset).
Sementara itu, di Malaysia, lembaga Shariah Advisory Council (SAC) mengakui bahwa aset kripto dapat dikategorikan sebagai mal (harta bernilai). Bitcoin, misalnya, diperlakukan seperti barang dagangan (urudh), bukan alat tukar, dan dapat digunakan untuk transaksi halal bila melalui bursa yang teregulasi.
Jadi, secara sederhana Kripto tidak halal sebagai uang, tapi bisa halal sebagai aset investasi selama memenuhi prinsip syariah dan tidak digunakan untuk hal yang haram.
Dari segi sisi akuntansi, hingga kini belum ada PSAK khusus yang mengatur aset kripto di Indonesia. Namun, IAI melalui Buletin Implementasi Vol. 8 (Agustus 2025) telah memberikan panduan bagi entitas atau perusahaan yang memiliki atau menyimpan aset kripto.
Berdasarkan panduan tersebut, aset kripto tidak dianggap sebagai uang atau aset keuangan, tetapi:
- Jika disimpan sebagai investasi → dicatat sebagai aset takberwujud (PSAK 19/238).
- Jika dimiliki untuk dijual kembali seperti pedagang atau pialang → dicatat sebagai persediaan (PSAK 14/202).
Dalam praktiknya, ada dua cara utama mengukur nilai kripto:
- Nilai wajar (fair value): digunakan jika pasar aktif dan harga kripto mudah diakses.
- Biaya historis (cost): digunakan jika pasar belum aktif atau nilai kripto sulit ditentukan.
Perubahan nilai kripto nantinya akan diakui di laporan keuangan sehingga bisa masuk ke laba rugi atau penghasilan komprehensif lain tergantung kebijakan yang dipakai.
Selain itu, jika perusahaan hanya menyimpan kripto milik pelanggan, aset tersebut tidak boleh diakui sebagai miliknya sendiri kecuali perusahaan memang memiliki kendali penuh atas aset tersebut. Transparansi dan pemisahan aset pelanggan menjadi aspek penting sesuai prinsip akuntansi dan etika syariah.
Indonesia saat ini tengah mendorong inovasi kripto syariah melalui sandbox OJK yaitu ruang uji coba bagi proyek berbasis blockchain yang sesuai syariah.
Salah satu contoh suksesnya adalah tokenisasi emas (GIDR), yang nilainya dijamin emas fisik dan dinyatakan sesuai Fatwa MUI 2021. Selain itu, mulai dikembangkan juga stablecoin berbasis Rupiah, tokenisasi sukuk, hingga crypto index fund syariah.
Teknologi blockchain bahkan berpotensi mendukung kegiatan sosial dan ekonomi Islam, seperti pengelolaan zakat, wakaf, donasi internasional, serta rantai pasok halal (halal supply chain) yang lebih transparan dan efisien. Adapun peluang dan tantangan pada teknologi tersebut, diantaranya:
Peluangnya:
- Membuka akses keuangan bagi masyarakat yang belum terlayani bank (unbanked).
- Menjadi instrumen investasi halal yang modern dan global.
- Mendukung maqasid syariah, khususnya perlindungan harta (ḥifẓ al-māl).
Tantangannya:
- Regulasi dan fatwa belum seragam.
- Tingkat literasi digital dan keuangan syariah masih rendah.
- Harga kripto yang sangat fluktuatif bisa menimbulkan spekulasi berlebihan.
Oleh karena itu, peran lembaga seperti IAI, DSN-MUI, ABSI, dan OJK menjadi sangat penting untuk menyusun standar, panduan, serta literasi publik agar kripto dapat berkembang dengan aman dan sesuai syariah.
Sehingga Aset kripto adalah hasil dari perkembangan teknologi yang tidak bisa dihindari. Dalam perspektif Islam, kripto bukan mata uang, tetapi bisa menjadi aset halal selama memenuhi ketentuan syariah dan digunakan untuk tujuan yang baik.
Dari sisi akuntansi, entitas yang memiliki atau mengelola kripto perlu memperlakukan aset ini secara hati-hati, transparan, dan sesuai dengan standar keuangan yang berlaku.
Singkatnya, kripto bukan sesuatu yang harus ditakuti tapi perlu dipahami dan dikelola dengan bijak. Dengan sinergi antara ulama, regulator, dan profesional akuntansi, Indonesia berpotensi menjadi pusat ekonomi digital syariah dunia yang modern, adil, dan beretika.
_DM_